Cincin Tunangan, Larangan Saweran
KEBIASAAAN-KEBIASAAN YANG WAJIB DIJAUHI DALAM PERNIKAHAN (KEMUNKARAN-KEMUNKARAN DALAM PESTA)
Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
Ketujuh:
CINCIN TUNANGAN.
1. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakai cincin yang terbuat dari emas. [1]
2. Dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat cincin yang terbuat dari emas di tangan seorang pria, maka beliau menariknya lalu melemparkannya seraya bersabda:
يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَجْعَلُهَا فِيْ يَدِهِ.
“Seorang dari kalian sengaja mengambil bara api Neraka untuk diletakkan di tangannya.”
Lalu dikatakan kepada orang tersebut setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi: “Ambillah cincinmu dan manfaatkanlah.” Ia menjawab: “Tidak, demi Allah, aku tidak akan mengambilnya selamanya, dan sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membuangnya.” [2]
3. At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُحِلَّ الذَّهَبُ وَالْحَرِيْرُ لِلإِنَاثِ مِنْ أُمَّتِيْ وَحُرِّمَ عَلَى ذُكُوْرِهَا.
“Emas dan sutera dihalalkan untuk wanita dari umatku dan diharamkan atas laki-lakinya.”[3]
4. Syaikh al-Albani rahimahullah berkata: “Hal itu (yaitu cincin tunangan) merujuk kepada tradisi kuno mereka, ketika pengantin pria meletakkan cincin pada ujung jempol tangan kiri pengantin wanita seraya mengatakan: ‘Dengan nama tuhan bapa. Kemudian memindahkannya untuk meletakkannya di atas ujung jari telunjuk seraya mengatakan: ‘Dengan nama tuhan anak, kemudian meletakkannya di ujung jari tengah seraya mengatakan: ‘Dengan nama ruh kudus.’ Ketika ia mengatakan: ‘Aamin, maka ia meletakkannya pada akhirnya, yaitu di jari manis secara tetap. Pernah diajukan pertanyaan kepada sebuah majalah wanita yang diterbitkan di London, edisi ke-19, Maret 1960 M.
Pertanyaan: Mengapa cincin tunangan diletakkan di jari manis tangan bagian kiri?
Angela Talbot, redaktur rubrik ini menjawab: Konon, pada jari ini terdapat urat yang terhubung secara langsung dengan hati. Ada juga prinsip kuno, pengantin pria meletakkan cincin pada ujung ibu jari pengantin wanita bagian kiri dengan mengatakan: “Dengan nama bapa.” Lalu pada ujung jari telunjuk dengan me-ngatakan: “Dengan nama tuhan anak.” Lantas pada ujung jari tengah dengan mengatakan: “Dengan nama ruhul kudus.” Dan terakhir, ia meletakkannya di jari manis tempat tetapnya dengan mengatakan: “Amin.”[4]
5. Ibnu Majah meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu bahwa ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil sutera dengan tangan kirinya dan emas dengan tangan kanannya, kemudian mengangkat keduanya seraya bersabda:
إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُوْرِ أُمَّتِيْ، حِلٌّ لإِنَاثِهِمْ.
‘Keduanya ini haram atas laki-laki dari umatku, dihalalkan bagi wanitanya.`” [5]
6. Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berkata: “Kami tidak mengetahui dasar amalan ini dalam syari’at. Dan yang paling utama ialah meninggalkan hal itu, baik cincin tersebut terbuat dari perak atau selainnya.” [6]
Kedelapan:
TIDAK BOLEH MENYANDINGKAN PENGANTIN PRIA BERSAMA PENGANTIN WANITA.
1. Syaikh Ibnu Jibrin rahimahullah ditanya: “Apakah boleh menyanding-kan pengantin pria bersama pengantin wanita di tengah-tengah para tamu wanita dalam pesta pernikahan?”
Jawaban: Perbuatan ini tidak dibolehkan. Sebab ini adalah bukti atas tercabutnya rasa malu dan taqlid (mengekor) kepada kaum yang suka berbuat keburukan. Bahkan perkaranya jelas. Sebab, pengantin wanita merasa malu menampakkan diri di hadapan manusia, lalu bagaimana halnya bersanding di hadapan orang-orang yang sengaja menyaksikan?[7]
2. Syaikh Ibnu Baaz berkata: “Di antara perkara munkar yang diadakan manusia pada zaman ini ialah meletakkan pelaminan untuk pengantin wanita di tengah-tengah kaum wanita dan menyandingkan suaminya di dekatnya, dengan dihadiri kaum wanita yang berdandan dan bersolek. Mungkin juga ikut hadir, bersama pengantin pria, kaum pria dari kalangan kerabatnya atau kerabat pengantin wanita. Orang yang memiliki fitrah yang lurus dan memiliki ghirah (kecemburuan) beragama, akan mengetahui apa yang terkandung dalam perbuatan ini, berupa keburukan yang besar, dan memungkinkan kaum pria asing menyaksikan kaum wanita yang menggoda lagi bersolek, serta akibat buruk yang akan dihasilkannya. Oleh karena itu, wajib mencegah hal itu dan menghapuskannya, untuk mencegah sebab-sebab fitnah dan melindungi komunitas wanita dari perkara yang menyelisihi syari’at yang suci….[8]
3. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata di salah satu khutbahnya, membicarakan tentang tema yang sedang kita bahas di sini: “Di antara perkara munkar, bahwa rasa malu sebagian manusia telah tercabut dari mereka. Seorang suami datang di tengah kaum wanita dan naik ke pelaminan bersama isterinya di hadapan kaum wanita, yaitu pada awal perjumpaannya dengan isterinya untuk bersanding dengannya, menjabat tangannya, mungkin menciumnya, dan mungkin memberikan hadiah kepadanya beserta permen (coklat) dan selainnya yang dapat menggerakkan syahwat dan meng-akibatkan fitnah.” [9]
Kesembilan:
LARANGAN SAWERAN.
Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Yazid al-Anshari -kakeknya adalah Abu Umamah-, ia mengatakan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang nahbah[10] dan mutslah[11] .”[12]
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Karena dalam kebiasaan ini (yakni saweran) berisi perebutan, berdesak-desakan, dan perkelahian. Barangkali mungkin diambil oleh orang yang tidak disukai oleh pemilik barang yang ditaburkan tersebut, karena kerakusan dan ketamakannya serta kekerdilan jiwanya. Sementara orang yang disukai pemilik harta yang ditaburkan tersebut terhalang, karena beradab baik serta menjaga diri dan kehormatannya. Demikianlah pada umumnya. Sebab, orang-orang yang beradab baik akan me-melihara dirinya dari berdesak-desakan dengan manusia rendahan untuk suatu makanan atau selainnya. Juga karena ini adalah kehinaan, sedang Allah menyukai perkara-perkara yang luhur daripada berdesak-desakan untuk perkara yang murahan. Yang diperselisih-kan hanyalah mengenai kemakruhan hal itu. Adapun kebolehannya, maka tidak diperselisihkan di dalamnya, dan tidak pula dalam mengambilnya. Karena ini semacam membolehkan (orang lain) terhadap hartanya, sehingga ini serupa dengan semua hal yang di-bolehkan.” [13]
Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Hadits-hadits tentang larangan adalah shahih dan menunjukkan haramnya segala bentuk perebutan.”[14]
Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h: “Malik dan segolongan ulama memakruhkan perebutan dalam saweran pengantinan.”[15]
Kesepuluh:
TIDAK BOLEH MENGATAKAN “BIR RAFAA’ WAL BANIIN (SEMOGA RUKUN DAN BANYAK ANAK).”
Tidak boleh mengatakan: “Bir rafaa’ wal baniin, sebagaimana yang dilakukan orang-orang yang tidak mengetahui. Sebab, itu termasuk perbuatan Jahiliyyah.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Kalimat ini biasa diucapkan oleh kaum Jahiliyyah sehingga ucapan ini dilarang, sebagaimana diriwayatkan oleh Baqi bin Makhlad dari jalan Ghalib dari al-Hasan, dari seseorang dari Bani Tamim. Ia menuturkan: ‘Semasa Jahiliyyah, kami biasa mengucapkan: ‘Bir rafaa’ wal baniin.’ Ketika Islam datang, Nabi kami mengajarkan kepada kami. Beliau bersabda: ‘Ucapkanlah:
بَارَكَ اللهُ لَكُمْ، وَبَارَكَ فِيْكُمْ، وَبَارَكَ عَلَيْكُمْ.
‘Semoga Allah memberkahi kalian, memberkahi pada kalian dan memberkahi atas kalian.’”
An-Nasa-i dan ath-Thabrani meriwayatkan dari jalan lain, dari ‘Aqil bin Abi Thalib bahwa ia tiba di Bashrah lalu menikahi seorang wanita, maka mereka mengucapkan kepadanya: “Bir rafaa’ wal baniin.” Maka ia mengatakan: “Jangan mengatakan demikian, tapi ucapkanlah sebagaimana ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ وَبَارِكْ عَلَيْهِمْ.
‘Ya Allah, berkahilah mereka, dan berkahilah atas mereka.’” (Para perawinya tsiqat).[16]
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 5864) kitab al-Libaas, Muslim (no. 2089) kitab al-Libaas waz Ziinah.
[2]. HR. Muslim (no. 2090), kitab al-Libaas waz Ziinah.
[3]. HR. Ahmad (no. 1404, 1790), dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Ibnu Maajah (no. 296, 3595).
[4]. Aadabuz Zifaaf, al-Albani (hal. 212, 213).
[5]. Shahiih Ibni Majah (no. 395).
[6]. Fataawaa Islaamiyyah, dihimpun dan disusun oleh Muhammad al-Musnid (III/ 129).
[7]. Fataawaa Islaamiyyah (III/188).
[8]. Ibid.
[9]. Min Munkaraatil Afraah (hal. 7, 10).
[10]. Nuhbah ialah apa yang ditebarkan pada saat pesta berupa harta, permen (coklat), makanan atau selainnya.
[11]. Mutslah yakni tamtsil (melukai atau merusak anggota tubuh). Di antara mutslah ialah seseorang bernadzar untuk melukai hidungnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Imran bin Hushain dalam riwayat Ahmad (no. 19437).
[12]. HR. Al-Bukhari (no. 2474), kitab al-Mazhaalim wal Ghadhab, Ahmad (no. 18265).
[13]. Al-Mughni bisy Syarhil Kabiir (VIII/118).
[14]. Nailul Authaar (VI/185).
[15]. Fat-hul Baari (V/120).
[16]. Fat-hul Baari (IX/222).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2494-cincin-tunangan-larangan-saweran.html